Minggu, 12 Maret 2017

Delusi Jihad Fi Sabilillah

Serangan teroris yang menghancurkan WTC (World trade Centre) pada 11 September 2001 berpengaruh besar terhadap citra umat Islam di mata dunia. Islam dan umat Islam menjadi pihak tertuduh dalam aksi tersebut. Itu adalah awal di mana dunia menganggap bahwa Islam “seolah-olah” adalah kekerasan atau Islam adalah teroris. Setahun setelah serangan di Amerika Serikat, aksi teror terjadi di Indonesia pada 12 Oktober 2002 di pulau Bali. Serangan teror yang juga disebut bom bali itu dianggap sebagai aksi terorisme terparah dalam sejarah Indonesia.

Berangkat dari serangan teror mengatas namakan jihad fii sabilillah yang menebarkan ancaman dan kekhawatiran banyak orang menimbulkan pertanyaan yang sangat mendasar “Benarkah Islam mengajarkan kekerasan dan terorisme?”

Islam adalah agama kedamaian yang menebarkan kasih sayang di muka bumi. Sebagaimana firman Allah SWT “Dan tidaklah kami mengutus engkau (Muhammad) melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi seluruh alam” (QS. Al-Anbiya (21): 107).

Pandangan bahwa Islam adalah agama teroris disebabkan oleh ketidaktahuan seseorang tentang ajaran Islam yang sesungguhnya. Meraka sudah terlanjur menganggap Islam adalah dalang dibalik semua aksi teror dan kekerasan. Padahal pelakunya adalah kelompok radikal yang mengartikan jihad sebagai perang melawan pemerintahan thaghut (pemerintahan yang tidak menerapkan hukum islam).

Asas Islam pada dasarnya melindungi lima hal yang sangat penting dalam kehidupan, yaitu;  pertama, kebutuhan pranata nilai dan spiritual (Hifzhu al-din). Kedua,hak hidup (hifzhu al-nafs). Ketiga, hak property (hifzhu al-mal). Keempat, kehormatan dan martabat (hifzhu al-a’radh). Kelima, mengatur autentisitas keturunan (hifzhu al-nasab).

Meneladani jihad ala Rasulullah Saw. seyogyanya harus memahami kondisi perang pada masa itu juga. Sejarah Islam mengklasifikasi dakwah Rasulallah SAW menjadi dua priode, priode Mekah dan prioede madinah. Setelah Muhammad mendapatkan wahyu pertama menandakan dakwah priode Mekah dimulai. Seruan nabi Muhammad tidak serta merta menyeru semua orang untuk meninggalkan Latta dan uzzah lalu memeluk Islam, tapi permulaan dakwah pada fase Mekah dilakukan dengan sembunyi-sembunyi dengan cara mengajak orang-orang terdekat.

Setelah tiga tahun dakwah dengan cara sembunyi-sembunyi Allah memerintahkan nabi Muhammad untuk menyeru semua orang memeluk Islam secara terang-terangan. Tapi dakwah nabi Muhammad mendapatkan kecaman dan tentangan dari kaum kafir Quraisy. Nabi dan para sahabat tidak membalas perlakuan orang kafir Quraisy dan bersabar menghadapi itu semua sampai akhirnya hijrah ke madinah.

Sejak meningkatnya penindasan kaum musyrikin Mekah terhadap umat Islam para sahabat banyak yang meminta izin kepada nabi agar diperbolehkan membalas, namun nabi meminta mereka untuk bersabar, sampai akhirnya Allah swt mengizinkan membalas perbuatan orang-orang musyrik dengan turunnya surah al-hajj ayat 39.

“telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena Sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan Sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka”.

Ayat ini memperbolehkan pembelaan diri, negara, harta dan kehormatan walaupun mengakibatkan terenggutnya nyawa lawan, pada ayat-ayat yang lain allah tidak memerintahkan perang kecuali ada fitnah atau orang kafir terlebih dahulu memerangi muslim.

Mayoritas ulama berpendapat tidak boleh memulai peperangan kecuali jika orang Kafir lebih dahulu menyerang umat Islam. Perang dalam Islam lebih bersifat defensive sebagai upaya mempertahankan diri bila ada ancaman dan serangan. Tetapi masalahnya Seringkali teks-teks jihad atau perang dalam al-Quran difahami secara parsial dan tidak menyeluruh.

Dalil yang sering kali dijadikan landasan oleh kelompok radikal untuk melancarkan serangan aksi teror adalah firman Allah SWT:

“dan bunuhlah mereka di mana pun kamu temui mereka, dan usirlah mereka dari mana pun mereka telah mengusirmu” (QS. Al-Baqarah: 191).

Mereka menjadikan penggalan ayat tersebut sebagai titik fokus untuk membenarkan aksi teror yang mereka lakukan. Padahal jika dipahami secara komprehensif surah al-Baqarah ayat 191 tidak akan menimbulkan kesan yang menyeramkan.

Pada ayat sebelumnya (al-Baqarah: 190) Allah memang memerintahkan umat Islam berperang tapi jika musuh yang terlebih dahulu menyerang dan tidak melampau batas. Kemudian lanjutan ayat di atas (al-Baqarah: 191) menjelaskan untuk tidak memerangi musuh jika mereka memasuki area Masjidil Haram, tetapi jika mereka menyerang terlebih dahulu maka perangilah mereka. Pada surah al-Baqarah: 193 Allah menegaskan:

“dan perangilah mereka sampai tidak ada lagi fitnah, dan agama hanya bagi Allah semata, jika mereka berhenti maka tidak ada lagi permusuhan kecuali terhadap orang-orang zalim”

Indikasi diwajibkannya perang adalah karena adanya fitnah. Jika dalam suatu daerah tidak ada fitnah maka tidak diwajibkan berperang. Fitnah dalam ayat ini adalah kekacauan, merapas hak orang lain, menyakiti, dan mengganggu kebebasan beragama.

Pemahaman yang keliru sering kali mengartikan jihad sebagai tindakan melawan orang kafir (non muslim), menghancurkan fasilitas dan kepentingan pihak barat dengan cara apapun. Maka aksi teror bisa saja terjadi jika seseorang memahami ayat jihad dan perang berdasarkan nafsu yang tidak memperhatikan sabab nuzul (latar permasalahan turunnya wahyu), munasabah ayat (korelasi antar ayat) dan susunan kebahasaan yang merupakan syarat utama menafsirkan suatu ayat.

Trem jihad dalam al-Quran tidak identik dengan kekerasan atau kekuatan fisik melawan musuh melainkan sebagai kesungguhan dalam memperjuangkan kebenaran. Dalam sebuah hadis sangat jelas diceritakan, ketika itu nabi dan para sahabat baru saja pulang dari perang badar. Kemudian nabi Muhammad berkata pada para sahabat, “umat islam baru saja pulang dari jihad kecil dan menuju jihad yang lebih besar yaitu menundukkan nafsu.”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar