Rabu, 25 Januari 2017

MENYIKAPI HOAX

Media online adalah media yang pling sering digunakan masyarakat di era digital saat ini. Akses yang mudah dan berita yang up to date menjadi alasan masyarakt lebih memilih media online dari pada media elektronik atau media cetak. 
 
Berdasarkan data dari pemerintah bahwa pengguna internet digandrungi oleh 132 juta jiwa, dari jumlah itu ada 129 juta yang memiliki akun media sosial aktif, serta penggunaan internet penduduk indonesia rata-rata menggunakan telepon seluler.

Kebebasan pers dan kebebasan berekspresi adalah angin segar bagi penikmat masalah kehidupan. Tapi bukan berarti tanpa celah, sisi negatifnya kebebasan seringkali kebablasan, banyak media abal-abal yang menyebarkan kebencian, menebarkan fitnah, maupun berita hoax.

Dewan Pers belakangan gencar memverifikasi media-media massa. Tujuannya jelas, yaitu menekan media abal-abal yang mengadu domba, berisikan faham radikal, memuat berita tidak sesuai fakta, menebar kebencian, dan hal-hal lain yang senada.

Dewan pers juga akan memberikan logo tanda lolos verifimasi kepada media-media yang memenuhi syarat  dan ketentuan yang ada, seperti berbadan hukum, terdaftar di kemenkumham, bersedia meratifikasi pedoman-pedoman jurnalistik dewan pers, dan lain-lain.

Walaupun terdengar mengancam kebebasan pers dan kebebasan berekspresi, jika dilihat dari tujuannya, verifikasi media bak sertifikat halal dari MUI pada makanan. Kita sendiri harus cerdas memilah dan memilih.

Berita bohong (Hoax) sudah mengangkasa di cakrawala media online: mulai dari Facebook, Twitter, situs berita, artikel di blog dan lain-lain. Situasi ini semakin parah ketika Hoax disebarkan ke berbagai aplikasi pengirim pesan seperti BBM, Whatsapp, line, dan lain-lain. Tujuannya mungkin hanya sekedar menyebarkan informasi tetapi jika yang di-Share  adalah berita bohong artinya sama saja menyebarkan kebohongan.

Tidak dapat dipungkiri bahwa merebaknya hoax di sekeliling kita saat ini sengaja dibuat oleh segelintir orang untuk beragam kepentingan: politik, bisnis, hingga popalaritas. Celakanya, para konsumen dan distributor hoax tak merasa dibodohi, Ini seperti orang yang mengkonsumsi narkoba, dia merasa nikmat namun tidak merasa mengkonsumsi zat yang sangat berbahaya.

Pada masa Rasulullah berita hoax pun sudah menyebar luas, ketika itu Aisyah dikabarkan selingkuh dengan Shafwan bin Mu’aththal sampai-sampai Rasul sedikit "menjauhi" Aisyah, hingga akhirnya Allah membersihakn Aisyah dari tuduhan-tuduhan yang tidak benar itu. (Lihat Surat an-Nur:11-22)

Pada masa sahabat sebuah berita terlebih berita itu adalah sabda nabi Muhammad SAW tidak serta merta diterima jika tidak bersumpah akan kebenarannya dan tidak bisa mendatangkan saksi. Seiring dengan perkembangan zaman hadis semakin menyebar, para ulama hadtis menyaratkan beberapa hal untuk menentukan apakah berita itu bersumber daru Rasul atau bukan. Secara ringkas untuk menentukan keabsahan berita tersebut yaitu dengan cara meneliti isi informasi dan informannya (rawi dan sanad).

Jadi, yang paling pertama kali dilakukan untuk menanggapi sebuah berita adalah diam. Diam bukan berarti tidak peduli atau masa bodoh, diam dengan tidak menunjukan reaksi yang berlebihan seperti marah atau kesal sampai mendapatkan kejelasan berita tersebut.

Jika mengikuti langkah-langkah takhrij hadis, untuk mengklarifikasi sebuah berita atau broadcast, kita harus mengetahui dari siapa saja berita itu disampaikan sampai pada orang yang membuatnya, kemudian apakah orang-orang itu jujur atau tidak, cerdas atau tidak. Semoga kita diberi hidayah.
(tulisan ini seberlumnya sudah pernah diterbitkan oleh komppaq.org)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar