“Kamu tinggal di Jakarta sedah dapet apa saja?” adalah salah satu
pertanyaan yang berhasil membuat seorang perantau malas pulang ke kampong halaman.
“saya sudah pernah naik transjakarta, bis tingkat dan cumuterline” sebagian
dari mereak ada yang menjawab demikian dengan bangga.
Sebagai makhluk yang dibekali pikiran sehat tentu para perantau
akan berpikir keras apa saja yang mereka lakukan di Jakarta selama ini? Jika lima tahun
tainggal di Ibu Kota dengan semua hiruk
pikuk yang ada apalagi dengan modal pas-pasan, tidak punya kendaraan pribadi dan harus
menggantungkan hidup pada transjakarta, ditambah dengan kemacetan yang menyebalkan, rasa-rasanya
hidup merka sangat mudzir.
Jika kita ilustrasikan 1 hari 2 kali dengan
rata-rata perjalanan 2 jam di transjakarta. 2 kali x 2 jam x 30 hari x 12 bulan
x 5 tahun = 7.200 jam. Betapa sia-sia hidup mereka.
Saya mencoba mencarai makna
dari 7.200. Sherlock pernah bersabda katanya “hidup itu berjalan sesuai dengan
simbol-simbol”. Kita lihat surat ke 7 (Al-A’raf) ayat ke-200: “dan jika kamu
ditimpa sesuatu godaan syaitan Maka berlindunglah kepada Allah” Alamak banyak-banyak berlindung kepada tuhan wahai para pengguna transjakarta.
Selama ini saya baru sadar ternyata kehdiupan di Jakarta bisa
dilihat dari Transjakarta. Tiga tahun yang lalu angkutan masa bernama
transjakarta ini sudah tidak menerima pembayaran cash, semua pembayaran
menggunakan uang ghaib.
Semua orang ingin serba instan dan cepat. Banyak
penawaran-penawaran kerja hanya dengan modal online di smartphone doang,
segala pemesanan tinggal klik, lama-lama manusia sudah malas lagi beraktifitas.
Saya khawatir suatu saat nanti kita akan dijajah oleh teknologi. Dasar manusia modern.
Jika masa kecil anda bahagia pasti tahu serial filem petualangan Nobita dan
labirin kaleng. Nasib kita akan seperti Nobio dan keluarganya.
Suatu hari saya pernah terdampar di halte Busway Harmoni. Setelah menunggu waktu lumayan lama
transjakarta datang. Antrian panjang lari menyerbu masuk. Sikut kanan sikut
kiri demi mendapatkan kursi. Kelakuam mereka mengingatkan saya pada calon
penguasa yang berebut kursi. Padahal sudah dihimbau utamakan yang turun. Dasar
orang tamak masa kursi di transjakrta saja mau dikudeta?
Mereka yang tidak mendapatkan kedudukan harus rela berdiri,
dengan ekspresinya yang kecut saya tahu mereka selalu berharap ada yang turun di halte
terdekat. Tapi kenyataanya banyak pula yang masuk. Seleksi alam tidak melulu soal mengalahkan lawan yang ada tapi juga akan datang musuh yang baru.
Dari transjakarta pula saya melihat ketidakpedulian. Di sana memang disediakan empat kursi prioritas khusus untuk penyandang disabilitas, manula, ibu hamil dan yang sedang menggendong bayi. Ketika mereka yang berhak menduduki kuris
itu memasuki transjakarta semua diam bahkan pura-pura tidur.
Pernah sekali waktu saya duduk nyaman di transjakarta kemudian seorang
pria berkepala lima kira-kira, dengan rambutnya yang memutih, kulitnya keriput lengkap
dengan pakaiannya yang lusuh saya persilahkan duduk. Selang beberapa saat saya
melihat dia mangap teridur lelap. betapa kejamnya kota ini.
Suatu hal yang abnormal saya jumpai dari Ciputat-Rambutan. Ciputat
adalah basik markas mahasiswa, banyak kos-kosan, rumah-rumah makan murah,
angkringan-angkringan kece yang murah juga, targetnya jelas dompet-dompet
mahasiswa. Ironi sekali ketia tidak ada satu pun yang duduk di transjakarta
sambil membaca buku. Pantas saja jika minat baca kita sangat rendah.
Semoga tulisan saya tidak dibaca sebagai promosi transjakarta.
terimakasih